Jelang Hari Raya Idul Fitri, Dinas Ketahanan Pangan Kota Tangerang, mengimbau masyarakat setempat untuk mewaspadai peredaran daging sapi oplosan daging babi yang beredar di pasaran.
“Kita amat mengimbau terhadap masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam membeli daging sapi, sebab baru-baru ini kita berhasil ungkap adanya penjualan daging sapi yang dicampur dengan daging babi,” kata Kepala Dinas Ketahanan Pangan Kota Tangerang Abduh Surahman, Rabu (20/5/2020).
Masyarakat dipinta lebih teliti dalam memilih daging dengan memandang tekstur, serta warna daging. Jikalau masyarakat menemukan tekstur daging agak kasar, berwarna pucat dan mempunyai bau yang agak amis, maka direkomendasikan untuk tidak membeli itu, sebab dipastikan daging itu sudah tercampur daging babi.
“Jikalau daging babi ini seratnya agak kasar, terus warnanya pucat. Nah, jikalau dikala beli daging sapi menemukan hal seperti ini, lebih bagus jangan dibeli,” katanya.
Terpenting jikalau didapati harga daging yang amat murah dibandingkan dengan harga daging sapi pada umumnya ialah Rp110 ribu per kilogram.
Baca Juga : Menikmati Daging Sapi Berkualitas: Panduan Memilih dan Memasaknya dengan Tepat
Harga daging babi yang ditentukan para pedagang di Tomohon, Sulawesi Utara, anjlok sebagai respon terhadap kabar demam babi afrika (ASF) di segala provinsi. Pemerintah kota mengoreksi adanya kematian hewan dalam jumlah besar di peternakan, namun menegaskan bahwa itu bukan diakibatkan ASF.
Pada Selasa (25/7/2023), harga daging babi di Pasar Beriman Wilken, Tomohon, atau lebih dikenal sebagai Pasar Ekstrem, berkisar Rp 40.000-Rp 55.000 per kilogram (kg), tergantung komponen-bagiannya. Komponen paha, umpamanya, kini dijual seharga Rp 45.000 per kg, turun dari normalnya Rp 55.000-Rp 60.000 per kg.
Paul Mait (58), salah seorang pedagang daging babi, mengatakan, harga itu sudah berlaku https://www.braxtonatlakenorman.com/ selama sebulan terakhir seiring menyebarnya kabar kematian babi yang dicurigai pengaruh ASF.
”Komponen perut itu umumnya Rp 65.000 per kg, namun kini cuma Rp 50.000. Komponen iga juga tinggal segitu,” katanya.
Kendati demikian itu, ia mengucapkan, para pedagang bukan pihak yang merugi, namun para peternak. Sebab, para pedagang cuma menyesuaikan dinamika harga yang ditentukan di peternakan dikala membeli babi dalam kondisi hidup untuk kemudian dipotong.
Menurut Paul, harga normal babi hidup di peternakan ialah Rp 35.000-Rp 36.000 per kg, namun kini tinggal Rp 27.000-Rp 28.000 per kg. ”Jikalau di peternak murah, kami jual murah juga di pasar. Jadi, pedagang sama sekali tidak rugi,” katanya.
Akan namun, ia merasakan penurunan volume penjualan. Saat kabar ASF belum menyebar, ia bisa memasarkan 21 babi selama sepekan, namun kini cuma tujuh ekor saja. Hal itu disebabkan kekhawatiran konsumen akan ancaman gangguan kesehatan.
Michael Andris (47), pedagang lainnya, kini memasarkan daging babi dengan harga Rp 100.000 per 3 kg atau sekitar Rp 33.300 per kg. ”Ini harga sudah turun sebulan lebih. Di Sonder (Minahasa), ada yang jual Rp 100.000 bisa 6 kg. Walhasil yang bikin harga jatuh,” ujarnya.
Harga yang berlaku di Sonder itu sempat viral di media sosial. Kecurigaan masyarakat akan penjualan daging dari babi yang sakit malah, kata Michael, semakin kuat.
, jumlah babi yang ia jual setiap minggu turun dari delapan menjadi enam saja. ”Jadi, untungnya kini tipis-tipis saja, sehari Rp 100.000,” katanya.